Perang Tarif Trump: Apa Itu dan Bagaimana Pengaruhnya ke Ekonomi Global dan Indonesia?

Latar Belakang: Mengapa Trump Membuat Kebijakan Tarif Impor?

Inti dari kebijakan ekonomi Trump adalah "membawa pekerjaan kembali ke AS" atau dalam bahasa Inggris, "Bring the Job back to US". Trump ingin membuka lebih banyak lapangan kerja di AS dengan mendorong industrialisasi kembali, yaitu membangun lebih banyak pabrik di AS, bukan di luar negeri.



Namun, ada tantangan besar. Biaya tenaga kerja di AS jauh lebih mahal dibandingkan di negara-negara Asia seperti Indonesia, China, atau Vietnam. Di AS, upah minimum pekerja "blue collar" (pekerja kasar) berkisar antara 16-18 dolar AS per jam. Jika mereka bekerja 8 jam sehari selama 5 hari seminggu, gaji bulanan mereka bisa mencapai 2.500-2.800 dolar AS (sekitar Rp 40-45 juta per bulan dengan kurs Rp 16.000 per dolar).

Bandingkan dengan Indonesia, misalnya di Bekasi yang memiliki upah minimum regional (UMR) cukup tinggi. UMR di Bekasi hanya sekitar 1,94 dolar AS per jam, atau sekitar Rp 31.000 per jam. Artinya, biaya tenaga kerja di Indonesia 10 kali lebih murah dibandingkan di AS untuk menghasilkan barang yang sama.

Karena perbedaan biaya ini, banyak perusahaan AS seperti Apple, Nike, dan Microsoft memilih membangun pabrik di negara-negara Asia, terutama China dan Vietnam, lalu menjual produknya di AS. Ini adalah prinsip dasar kapitalisme: mencari biaya produksi termurah untuk memaksimalkan keuntungan. Bagi perusahaan, ini masuk akal secara bisnis, bukan soal patriotisme.

Strategi Trump: Membuat Impor Jadi Mahal dengan Tarif

Untuk "memaksa" perusahaan-perusahaan AS membangun pabrik di dalam negeri, Trump menerapkan kebijakan tarif impor yang tinggi. Logikanya sederhana: jika biaya impor barang dari Asia (seperti China, Vietnam, atau Indonesia) jadi lebih mahal daripada memproduksi di AS, maka perusahaan akan memilih membangun pabrik di AS.

Tarif impor ini adalah pajak yang dikenakan pada barang yang masuk ke AS. Misalnya, jika Apple mengimpor iPhone dari China, maka Apple-lah yang harus membayar tarif impor ini, bukan China. Biaya tambahan ini biasanya akan diteruskan ke konsumen, sehingga harga barang di AS bisa naik.

Sebagai contoh, pada era perang dagang AS-China tahun 2015, China menggunakan Vietnam sebagai "proxy" untuk menghindari tarif AS. Barang yang sebenarnya diproduksi di China dirakit di Vietnam, lalu diberi label "Made in Vietnam". Banyak produk apparel seperti sepatu Nike yang masuk ke AS berlabel "Made in Vietnam". Namun, AS sudah tahu trik ini, sehingga Vietnam juga kena tarif impor yang cukup besar, yaitu 46% berdasarkan daftar tarif Trump.

Bagaimana Tarif Impor ke Indonesia Dihitung?

Sekarang kita ke bagian yang kontroversial: bagaimana AS menghitung tarif impor untuk Indonesia? Menurut James Surowiecki, cara perhitungan Trump sangat tidak masuk akal. AS mengklaim bahwa Indonesia mengenakan tarif 64% pada barang-barang AS, sehingga AS membalas dengan tarif 32% untuk barang impor dari Indonesia, termasuk kopi. Padahal, AS tidak mengekspor kopi ke Indonesia, jadi kebijakan ini jelas tidak logis.

Lalu, dari mana angka 64% ini? Ternyata, angka ini bukan berdasarkan tarif nyata yang dikenakan Indonesia, melainkan perhitungan sederhana yang absurd. AS melihat bahwa mereka punya defisit perdagangan dengan Indonesia sebesar 17,9 miliar dolar AS. Artinya, AS lebih banyak mengimpor dari Indonesia (28 miliar dolar AS) dibandingkan mengekspor ke Indonesia. Mereka lalu membagi angka defisit (17,9 miliar) dengan total impor (28 miliar), hasilnya 64%. Angka inilah yang diklaim sebagai "tarif" yang dikenakan Indonesia, lalu AS membalas dengan setengahnya, yaitu 32%.

Perhitungan ini sangat tidak masuk akal karena defisit perdagangan tidak sama dengan tarif. Defisit hanya menunjukkan selisih antara impor dan ekspor, bukan pajak atau tarif yang dikenakan. James Surowiecki menyebutnya sebagai "kebodohan luar biasa".

Pengaruh ke AS: Inflasi dan Harga Barang Naik

Apa dampak kebijakan ini di AS? Jika barang impor jadi lebih mahal karena tarif, perusahaan seperti Apple atau Nike kemungkinan akan menaikkan harga jual produk mereka untuk menutupi biaya tambahan. Akibatnya, harga barang di AS akan naik, yang berarti inflasi.

Selain itu, jika AS mulai membangun lebih banyak pabrik di dalam negeri (industrialisasi kembali), biaya produksi yang lebih mahal di AS juga akan mendorong harga barang naik. Bahan baku dasar (basic materials) seperti baja atau plastik juga akan naik harganya karena permintaan meningkat untuk produksi di AS. Inflasi di AS ini bisa memicu inflasi di negara lain, terutama yang bergantung pada dolar AS, termasuk Indonesia.

Pengaruh ke Indonesia: Banjir Barang Murah dan Ancaman untuk UMKM

Sekarang kita lihat dampaknya ke Indonesia. Indonesia bukan mitra dagang utama AS—mitra terbesar kita adalah China, baik untuk ekspor maupun impor. Barang ekspor utama Indonesia ke AS antara lain minyak sawit (6,12%), ban karet (3,84%), dan kopi (0,99%). Dengan tarif 32% dari AS, barang-barang ini jadi lebih mahal di pasar AS, sehingga daya saingnya menurun.

Di sisi lain, kebijakan Trump ini memaksa China dan Vietnam mencari pasar baru untuk barang mereka yang tidak lagi bisa masuk ke AS dengan murah. Salah satu pasar yang jadi sasaran adalah Indonesia. Apalagi, pada 8 April 2025, Presiden Indonesia Prabowo Subianto menginstruksikan menteri-menteri untuk membuka "pintu impor" dengan menghapus kuota, regulasi teknis, dan memperpendek masa karantina impor. Artinya, barang-barang murah dari China dan Vietnam akan membanjiri Indonesia.

Ini disebut sebagai "dumping", yaitu menjual barang dengan harga sangat murah karena kelebihan pasokan (oversupply). Bagi konsumen Indonesia, ini bisa jadi kabar baik karena barang impor akan lebih murah—misalnya, pakaian atau elektronik dari China bisa dibeli dengan harga sangat rendah. Namun, ini adalah kabar buruk bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia.

UMKM yang memproduksi barang serupa, seperti tekstil atau sepatu, tidak akan mampu bersaing dengan harga murah barang impor. Akibatnya, banyak UMKM bisa tutup, dan pekerja lokal kehilangan pekerjaan. Jihad Brahmantyo memperkirakan bahwa industri padat karya di Indonesia, seperti tekstil, bisa "habis" jika tren ini berlanjut. Ia bahkan menyebutkan kemungkinan platform e-commerce lokal seperti Bukalapak ($BUKA) diakuisisi oleh platform China seperti Temu, yang akan memperparah dominasi barang impor.

Deflasi di Indonesia: Barang Murah, Tapi Ekonomi Terancam

Banjir barang murah dari China dan Vietnam ini bisa menyebabkan deflasi di Indonesia. Deflasi adalah kondisi di mana harga barang terus turun karena pasokan terlalu banyak dan permintaan tidak seimbang. Meskipun bagi konsumen ini terdengar menguntungkan, deflasi sebenarnya berbahaya bagi perekonomian.

Jika harga barang terus turun, produsen lokal tidak akan mendapat untung, bahkan bisa rugi. Akibatnya, banyak pabrik lokal tutup, dan pengangguran meningkat. China sendiri perlu meningkatkan permintaan domestik mereka agar barang-barang mereka diserap di dalam negeri, bukan hanya diekspor murah ke negara lain seperti Indonesia.

Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?

Untuk mengurangi defisit perdagangan dengan AS, Indonesia bisa meningkatkan impor dari AS, misalnya dengan membeli lebih banyak produk teknologi seperti iPhone dari Apple atau alat-alat militer (alutsista). Ini bisa menjadi bagian dari negosiasi perdagangan dengan AS untuk menurunkan tarif impor yang dikenakan pada barang Indonesia.

Namun, di sisi domestik, Indonesia perlu melindungi UMKM dari banjir barang impor. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan pajak atau regulasi yang lebih ketat pada barang impor murah, seperti yang dilakukan Vietnam dengan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada impor bernilai rendah. Selain itu, pemerintah bisa mendorong konsumsi produk lokal dengan kampanye "Beli Produk Indonesia".

Kesimpulan

Kebijakan tarif impor Trump bertujuan membawa pekerjaan kembali ke AS, tapi caranya sangat kontroversial dan bisa merugikan banyak pihak. Di AS, kebijakan ini bisa menyebabkan inflasi dan harga barang naik. Di Indonesia, kebijakan ini memicu banjir barang murah dari China dan Vietnam, yang menguntungkan konsumen tapi mengancam UMKM dan industri lokal.


Perang tarif ini menunjukkan betapa rumitnya hubungan perdagangan global. Indonesia perlu cerdas dalam menyikapinya: memanfaatkan peluang untuk memperbaiki hubungan dagang dengan AS, sekaligus melindungi ekonomi lokal dari dampak negatif impor barang murah. Jika tidak, UMKM dan industri padat karya kita bisa terancam "habis".


Disclaimer :

Tulisan ini versi lain dari threadnya Jihad Brahmantyo @Gieehad (https://twitter.com/Gieehad/status/1908733137318039904#)


Comments

Popular posts from this blog

How to Master Your Habits Now !

Investasi Emas vs Reksadana Saham, Mana yang Lebih Tinggi Hasilnya ?

Merencanakan Dana Pendidikan Anak : Studi Kasus